Total Pageviews

Tuesday, August 26, 2008

gunung seribu bukit (argopuro)

gelap pekat saat kami tiba di pintu gerbang hutan itu
suara binatang malam jadi misteri dibalik kelamnya
kabut sesekali turun, menebar aroma segar pepohonan dan rumput liar
tubuh kami rebah di atas ransel - ransel yang setia mencatat setiap perjalanan
berselimut angin malam serahkan mimpi pada lautan bintang

persiapan kembali dilakukan, semua mimpi kembali dibungkus rapi
tak lupa menyelipkan beberapa baris doa pada sepasang sepatu kawan setia
tersenyum pada matahari pagi yang akan menuntun langkah-langkah kaki
perjalanan dimulai dari secangkir hangat kopi tubruk pemilik kedai

perbukitan dan lembah-lembah perlahan-lahan dilukis pada jejak kaki
hijau dedaunan menata kembali udara dari deru dengus nafas yang cemar
kicau burung, gemersik daun-daun kering dan percik air adalah simphoni sepanjang masa
taman hidup, saat senja mulai merayap pada danau berpagar hutan cemara

kembali malam membentang layarnya paduan suara binatang malam pun digelar
cinta bersemi dari sepasang hati disebalik tenda-tenda kecil pendaki yang hangat
ada yang menganyam tali pada canda tawa para pendaki yang sibuk menghembuskan asap kretek, malam pun larut dalam secangkir persaudaraan yang hangat

beberapa bukit lagi telah terlewati, tapi tempat yang dituju masih sembunyi
selangkah demi selangkah selembah demi selembah dituruni
setapak demi setapak sebukit demi sebukit kembali di tanjak
pada langit tinggi minta petunjuk waktu kapan bergerak kapan berhenti

siang itu kembali hati diteguhkan, puncak gunung masih terkurung bukit
perbekalan dibawa secukupnya tunjukan disiplin dan kemauan hati
puncak yang dituju bukanlah akhir, tapi bagian dari perjalanan yang sudah dimulai
seperti sisa-sisa candi yang ditemui, adalah catatan kejayaan yang dikirim dari masa lampau

dikanan lembah dengan anginnya yang lengang, dikiri daun pepohonan saling bertegur sapa
di depan sinar matahari jadi petunjuk tempat padang sabana siap menyambut
lubang-lubang di tanah taman bermain bagi babi hutan tak boleh di ganggu
sesekali ayam hutan dan merak silih berganti mengawasi laku para pendaki

selada air dan anak sungai kecil di tepi lembah adalah tempat segala lelah dibersihkan
hamparan rumput laksana beludru hijau jadi pembaringan segala penat dan luka

kaki gunung kembali menanti, hati yang bertautan kembali rapatkan barisan
ucapan perpisahan berat diucapkan, di hamparan sabana sepenggal hati terpenggal ketika itu
langkah pertama dilangkahkan pada jalur yang akan mengantar pendaki pulang
ditikungan demi tikungannya kami temukan, potongan-potongan hati berserakan

setengah jalan langit mendung, tak lama hujan turun diperbatasan hutan dan kebun jagung
ransel-ransel diturunkan, bersiap-siap di bawah lindungan jas hujan
perjalanan dilanjutkan dengan kaki telanjang dan lumpur di sela-sela jari
sendal jepit kami terkapar di tanah merah yang terjepit pohon-pohon jagung

saat mata mulai tertipu halusinasi pada punggungan perbukitan terakhir
senja merambati hati kami yang sempat menciut pada jarak perjalanan
jauh di depan ada kerlip lampu dari desa, segumpal bara api tiba-tiba terbakar di hati
perjalanan menuju kota tak lagi terasa, jok tempat duduk bis antar kota jadi lamunan

Monday, August 25, 2008

mahameru

menjumpai ranu pane yang berpasir adalah awal perjalanan panjang
saat semua warga bersiap-siap menjelang kemerdekaan

umbul-umbul warna-warni dan bendera merah putih
meriah di langit yang biru cerah, secerah tawa anak-anak desa
secerah hati para pendaki saat bersiap-siap untuk terakhir kali
doa mohon perlindungan dirapalkan, menjelang tengah hari perjalanan dimulai

berkilo-kilo pasir kami bawa di tubuh dan paru-paru kami,
pada ransel-ransel dan keringat kami,
desa terakhir berkilo-kilo dibelakang, jembatan merah menanti di depan,
sesaat terlintas wajah-wajah yang menanti yang semakin hilang dibalik perbukitan
sedikit canda tawa mengisi kembali tabung-tabung semangat kami
senja menjemput mataharinya, ranu kumbolo menanti

desir angin dari ujung lembah menjemput peluh pada tubuh
dinginnya terasa sejuk sampai ke hati yang biru karena rindu
cepat-cepat tenda didirikan di sisi danau, riaknya pantulkan sinar mata kami, lalu
api unggun dan susu coklat panas terhidang diantara hangat hati yang menyatu

tak jarang angin menggoyang tenda yang sore tadi kami dirikan dengan gigil tulang
gemertak gigi pun turut meramaikan, malam perisitirahatan pertama terasa begitu lama

dingin pagi menggigit sumsum tulang, saat para pendaki mencari sisa sisa bara api di dadanya
ranting-ranting kering di bakar nantikan matahari yang menghalau kabut malam,
sarapan!

tebing cinta serupa fatamorgana cinta, penuh tipu daya di sebalik keindahan dan harapan
berkali-kali kata maki meloncat dari ransel-ransel kami yang penuh sesak, tercecer disana sini

perjalanan di lanjutkan, setelah memaknai nama keparat itu sambil lalu
disana sini kabut asap menyesakkan dada, hutan terbakar apinya menyesakkan mata
pohon-pohon dan semak semakin hebat terbakar, terbakar juga keyakinan kami
keputusan harus diambil saat bayang-bayang ragu jadi hantu gentayangan pada lidah-lidah api

menembus asap dan api, sesaat setelah tekad menelan ragu
saling bertaut jiwa, sepanjang jalan tiada tertinggal jejak tanpa kenang-kenangan

sepi kalimati di dataran tinggi selandai lapangan bola berpagar pohon cemara
hanya angin yang sepanjang hari mencumbu pucuk-pucuk kembang edelweis
turun ke lembah bercabang anak kali yang mati, sunyi menyergap perlahan-lahan
senja merayap pada tebing-tebing bisu,celahnya mengeluarkan airmata dari mataair lembah
peristirahatan terakhir sebelum pendakian puncak

pada malam pendakian puncak di batas hutan arcopodo, satu hati satu tujuan
puncak mahameru dituju, disana mimpi kami labuhkan bersama sambut matahari pagi
cemoro tunggal sebagai tanda, sesekali juga sebagai tempat menggantung letih
bukit pasir menguji kaki dan tekad, mahameru tinggal beberapa langkah lagi

fajar terlanjur tinggi saat sampai di puncak, beberapa letupan kawah membayar lelah
tanpa kata tanpa airmata hanya doa dan bahagia di puncak mahameru, puncak para dewa

ibu

dimana kau simpan luka perjalanan
dimana kau keringkan airmata
sementara doa terus kau kirim kelangit
isyaratkan arah perjalanan
yang bersembunyi di balik gelapnya malam

Friday, August 22, 2008

sakit mata hati

mata hati
sakit mata
terlalu banyak
nonton tivi

republik bla bla bla

hidup adalah perbuatan (numpang orang lain)!
belajar dari belanda waktu membonceng NICA
merdeka adalah bla bla bla!!!

kita belum merdeka sepenuhnya
karena bla bla bla

dahulu kita macan,
sekarang kita mantan macan
bla bla bla

hati nurani rakyat
di bawah sepatu tentara
lalu bla bla bla

televisi serupa tempat sampah
busuknya menusuk hingga ke hati
semua duduk manis, nonton sambil meringis
menjilati luka sendiri yang mulai bau amis

Wednesday, August 20, 2008

ibu Sumarsih

menanti ia, hingga keadilan tak lagi mimpi
tulus seperti kasih yang mengalir di darah putranya
yang tumpah di meja perjamuan kudus tirani
di depan istana dan jalan-jalan revolusi

setiap nafasnya api, panasnya menusuk-nusuk
hingga ke jantung yang membusuk oleh caci maki

menuntut ia, hingga kematian tak lagi sepi
di negeri ini, di liang kubur yang menyimpan beribu nyeri
di resah pusara yang diam berjanji sepenuh hati
mengurai perih duka, hingga dendam tak lagi jadi makam

putih rambutmu adalah kibaran panji-panji semangat
pada tiap helainya airmata telah menjadi karang

Friday, August 15, 2008

time out

detak jantungku berhenti berdetak
beristirahat sejenak di lekuk pinggangmu
menikmati pasang surut gelombang punggungannya
seiring jejak langkah sepasang kakimu
yang mengundang sejuta indah bayang-bayang

di kota itu

ada ragu bergelantungan dirimbun alis matamu
saat angin menggambar rindumu pada tembok kamar
diujung kota yang kau tinggalkan beberapa waktu lalu
ada sepi yang coba kau lukis dengan keluh kesahmu
di kota pelarian, yang juga menyembunyikan luka hatimu

samar-samar kubaca pada bayang matamu yang binar,
dari kejauhan saat bahumu tak dapat ku gapai

Wednesday, August 13, 2008

di kafe (menjelang pulang)

salad kata dan segelas huruf
habis tandas tak tersisa
meninggalkan puntung gelisah
pada asbak yang penuh sesak tanya

Tuesday, August 12, 2008

in absentia

sebentar lagi akan ada pesta di rumah tuan, tapi
kami tak dapat memenuhi undangan tuan
yang tuan kirimkan lewat bendera warna warni itu
kami sibuk menyiangi luka dan airmata
yang diwarisi orang tua kami
yang telah sekian lama menyembunyikannya
didapur rumah kami yang ditelan lumpur sidoarjo
serta janji-janji usang tempo hari
yang tampaknya juga ikut tenggelam

toh kami pun tak perlu meminta maaf atas kemalasan kami untuk datang, lagipula
kami juga sedang sibuk menyempurnakan tingkah laku kami

agar tak kena pukul para pembela kebenaran yang sekarang sedang ramai-ramai meronda dimana-mana
O ya, uang tabungan kami juga sudah habis
untuk beli minyak, uang sekolah, biaya hidup sehari-hari
dan sedikit untuk liburan diteras depan rumah mewah yang kami lihat di sinetron-sinetron

sesekali juga nonton pembasmian hama tikus di gedung bundar
:kami tak punya ongkos buat ke tps

sampai jumpa lagi

cintamu,
adalah mimpi sewarna pelangi
dalam tidur panjangku

Thursday, August 7, 2008

nostalgia

tatap matamu sendu,
di bawah binar cahaya remang lampu malam
diatas rona kedua pipimu yang hangat kuku

ketika rindu berlabuh dipantai "long island"
tempat dimana aku menghabiskan sisa malam
meneguk habis senyum manis dari bibirmu
yag rekah,
bulan pecah, di derai tawamu yang renyah

setapak demi setapak perjalanan kita urai
letakkan luka satu per satu di meja persegi empat itu

Wednesday, August 6, 2008

perempuan muda itu adalah ibu

perempuan muda itu adalah ibu, yang dihisap peradaban
puting susunya kurang gizi menyumpal pada lapar yang geram
berdiri diujung antrian sembako murah
saat tuhan dikuduskan

dasternya lusuh sembunyikan desah derit ranjang semalaman,
dari lembaran uang yang karena suatu sebab ditukar birahi liar malam
yang disetubuhinya dengan airmata,
entah luka atau bahagia

demi menanak sepiring nasib,
mengecap seteguk kehidupan
disimpannya luka diliang gelap
bawah pusarnya yang gusar



*coba digubah dari puisinya anez yang judulnya "ibu muda di pinggir peradaban"

yang datang dan pergi

cintamu tergeletak sepi, menempel dan tertidur
pada lembaran-lembaran waktu yang terus berjalan
meninggalkan masa silam yang tertutup debu panjang perjalanan
sesekali rindu berbisik ditelingaku, namamu.
yang kini jadi lentera kecil
menerangi gelap mimpi-mimpi malam
saat sunyi lelah menampung airmata

Tuesday, August 5, 2008

terkikis

sepotong hati
terbawa sajak
sepotong lagi, sibuk
mengusir penat

Monday, August 4, 2008

harga sebuah kebebasan

air susu
dibalas
air mata

Friday, August 1, 2008

kaukah itu

sekelebat
wajahmu
di buram
mataku
di sisi gelas
terakhir
melawan
sepi