Total Pageviews

Monday, October 24, 2011

aku tidak tahu

aku mencintaimu dengan gugup
berharap dan bernafas dengan degup
ada apa di dalam hatimu
hanya kutemui jalan berbatu

Wednesday, October 12, 2011

bosan

aku bosan akan dunia ini
aku ingin surga, legenda turun temurun para agama
Tuhan, aku sudah kirimkan doa
mungkin kena macet dan mampir sejenak disalah satu spa ibukota
yang jelas tak sampai padaMu, ya, aku tahu itu
karena aku tak lebih baik sekarang
dosa yang kutumpuk semakin banyak, menyundul langit
mungkin akan lebih dulu sampai padaMu ketimbang doa-doaku
ah, anakMu yang tunggal itu, aku ingat Dia, dimana Dia kini
aku ingin lihat lagi rambutNya yang gondrong seksi itu
mungkin sedikit ngobrol-ngobrol tentang luka-lukaNya yang melegenda

aku bukan anak pejabat

karena orang tuaku bukan pejabat
aku tidak dapat prioritas apa-apa
kesempatan harus kucari sendiri
tak ada yang memberi cuma-cuma
segala kedudukan harus kuraih
tanpa ada surat rekomendasi

karena orang tuaku bukan pejabat
aku jadi tahu arti perjuangan
belajar jujur pada siapapun terlebih pada diri sendiri
merasakan bangga atas apa yang kupunya karena jerih payah sendiri
bukan karena aku anak pejabat yang dapat prioritas dan kemudahan dimana-mana

karena orang tuaku bukan pejabat
aku belajar berterimakasih dan bersyukur
mensyukuri apa yang kupunya dan yang tak kupunyai
belajar menghargai dan menghormati hak-hak orang lain
karena aku tidak pernah merampas kesempatan dari mereka,
kesempatan atas hak bersaing secara sehat disegala bidang
tanpa melihat latar belakang dan siapa bapak ibumu

karena orang tuaku bukan pejabat
aku belajar keberanian yang sejati,
belajar bertanggung jawab atas apa yang kulakukan
tanpa ada yang melindungiku dari belakang

karena orang tuaku bukan pejabat
aku belajar jadi manusia yang sejatinya adalah manusia

ironi

ada yang salah di sini (Indonesiaku tercinta),
:jika kau pejabat tapi jujur

Monday, October 10, 2011

ini bukan reality show

bulan purnama yang hangat
dan gemintang biru di langit
tak lagi indah dalam puisiku
sudah tak ada lagi aroma bunga
dalam rima dan bait
nafsu dan hasrat hilang jiwanya
kini puisiku kotor
hanya mencaci maki nasibnya
yang tak bisa berpaling lagi
tidak bisa lagi untuk tidak bicara
tentang penindasan oleh bangsa atas bangsanya sendiri
rasa muak yang mencekik leher ketika koruptor dan tukang suap jadi bintang televisi
dan partai politik berlomba-lomba mencari tempat di gedung dewan dan kursi menteri

dan bangsaku
dan negeriku
dan rakyatku
ada anak-anak yang menderita gizi buruk dan mati
masih banyak anak-anak masa depan yang mimpi untuk sekolah
lalu buruh yang kini hak-haknya di ambil alih serikat buruh dan LSM gadungan
lalu para tani di desa-desa yang nasibnya tak pernah berubah sejak dulu kala
lalu para cendikiawan dan ilmuwan yang pergi keluar negeri karena disini tak berharga ilmunya
lalu warga kota yang sempit gang rumahnya, yang banjir sampai atap rumah ketika musim hujan tiba
lalu desa-desa yang tidak berkembang karena ditinggal pemudanya yang kesepian
jadi petualang di kota
lalu warga pedalaman yang hilang hutannya lalu demonstrasi di jalan-jalan karena hasutan sekelompok orang yang tidak dapat jatah atas hutan yang hilang itu
lalu segelintir agamawan dan pejabat daerah yang menindas orang-orang Kristen yang hilang hak ibadahnya,
lalu teror yang terus menerus menghantui tanpa bisa dilacak, ada juga teror terang-terangan yang tak perlu dilacak tapi juga dibiarkan begitu saja

aku lihat lagi langit malam ini, ada purnama di situ
ternyata sinarnya tak lagi hangat
ada bintang-bintang di situ yang hilang daya tariknya
ah, puisiku kini gelisah dan marah

mengapa?

aku bertanya, mengapa?
dari sekian banyak fakultas hukum yang melahirkan banyak sekali para sarjana hukum di negeri ini, ternyata tidak juga mampu menangkap para koruptor dan pelaku suap yang setiap hari diberitakan ditelevisi.
bau bangkai itu menusuk sekali bung, jangan tutup hidungmu!