menjumpai ranu pane yang berpasir adalah awal perjalanan panjang
saat semua warga bersiap-siap menjelang kemerdekaan
umbul-umbul warna-warni dan bendera merah putih
meriah di langit yang biru cerah, secerah tawa anak-anak desa
secerah hati para pendaki saat bersiap-siap untuk terakhir kali
doa mohon perlindungan dirapalkan, menjelang tengah hari perjalanan dimulai
berkilo-kilo pasir kami bawa di tubuh dan paru-paru kami,
pada ransel-ransel dan keringat kami,
desa terakhir berkilo-kilo dibelakang, jembatan merah menanti di depan,
sesaat terlintas wajah-wajah yang menanti yang semakin hilang dibalik perbukitan
sedikit canda tawa mengisi kembali tabung-tabung semangat kami
senja menjemput mataharinya, ranu kumbolo menanti
desir angin dari ujung lembah menjemput peluh pada tubuh
dinginnya terasa sejuk sampai ke hati yang biru karena rindu
cepat-cepat tenda didirikan di sisi danau, riaknya pantulkan sinar mata kami, lalu
api unggun dan susu coklat panas terhidang diantara hangat hati yang menyatu
tak jarang angin menggoyang tenda yang sore tadi kami dirikan dengan gigil tulang
gemertak gigi pun turut meramaikan, malam perisitirahatan pertama terasa begitu lama
dingin pagi menggigit sumsum tulang, saat para pendaki mencari sisa sisa bara api di dadanya
ranting-ranting kering di bakar nantikan matahari yang menghalau kabut malam,
sarapan!
tebing cinta serupa fatamorgana cinta, penuh tipu daya di sebalik keindahan dan harapan
berkali-kali kata maki meloncat dari ransel-ransel kami yang penuh sesak, tercecer disana sini
perjalanan di lanjutkan, setelah memaknai nama keparat itu sambil lalu
disana sini kabut asap menyesakkan dada, hutan terbakar apinya menyesakkan mata
pohon-pohon dan semak semakin hebat terbakar, terbakar juga keyakinan kami
keputusan harus diambil saat bayang-bayang ragu jadi hantu gentayangan pada lidah-lidah api
menembus asap dan api, sesaat setelah tekad menelan ragu
saling bertaut jiwa, sepanjang jalan tiada tertinggal jejak tanpa kenang-kenangan
sepi kalimati di dataran tinggi selandai lapangan bola berpagar pohon cemara
hanya angin yang sepanjang hari mencumbu pucuk-pucuk kembang edelweis
turun ke lembah bercabang anak kali yang mati, sunyi menyergap perlahan-lahan
senja merayap pada tebing-tebing bisu,celahnya mengeluarkan airmata dari mataair lembah
peristirahatan terakhir sebelum pendakian puncak
pada malam pendakian puncak di batas hutan arcopodo, satu hati satu tujuan
puncak mahameru dituju, disana mimpi kami labuhkan bersama sambut matahari pagi
cemoro tunggal sebagai tanda, sesekali juga sebagai tempat menggantung letih
bukit pasir menguji kaki dan tekad, mahameru tinggal beberapa langkah lagi
fajar terlanjur tinggi saat sampai di puncak, beberapa letupan kawah membayar lelah
tanpa kata tanpa airmata hanya doa dan bahagia di puncak mahameru, puncak para dewa
Monday, August 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Mata hati
sakit mata
terlalu sirik
baca ini puisi
hehe, maap kawan, saya merampok
puisi, jgn kena royalty ye..
mmmm..kapan yah gua ke sana
hhhmmm!! entahlah!!
Post a Comment