Thursday, May 29, 2008
Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu
ada jembut nyangkut
di sela gigiMu!
seruKu
sambil menjauhkan mulutKu
dari mulutMu
yang ingin mencium itu.
sehelai jembut
bangkit dari sela kata kata puisi
tersesat dalam mimpi
tercampak dalam igauan birahi semalaman
dan menyapa lembut
dari mulut
antara langit langit dan gusi merah mudaMu
yang selalu tersenyum padaKu.
Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu
tapi bersihkan dulu gigiMu
sebelum Kau menciumKu!
: Sauuut...Saut, sesatkanlah aku ke jalan yang benar!
Wednesday, May 28, 2008
sebait sajak untuk sepi
sempurnakan saja kepak sayapnya
hingga sampai ke gerbang Petrus
di swargaloka
: inspired by Arlen "si bungsu"
warna bendera tak lagi merah putih
tanah-tanah terus digali,pohon-pohon tak ada lagi
laut kami sepi,ikan-ikannya dicuri
tangan-tangan serakah mengintai negeri penuh berkah
menyelusup dikantong-kantong seragam Aparat pemerintah
beri sepah, lalu menghisap seperti lintah
jelma jari-jari pada tangan-tangan serakah
lihat! bendera tak lagi merah putih
warnanya pudar kibarnya tak lagi menggelepar
tiangnya bersarang karat
tak pupus oleh darah-darah melarat
ini negeri penuh berkah
ditebus dengan darah
disini kami tegak menengadah
tak goyah, walau susah payah
Tuesday, May 27, 2008
ayo teriak merdeka!
Merdeka..?!
Merdeka..?!
Merdeka..?!
...............................................
siapa?
Semakin hina saja mimpi-mimpi kami
mimpi-mimpi kami berserakkan
di jalan-jalan ibu kota
ketika hidup harus dibeli
di negeri ini
mimpi-mimpi kami berserakan
diparit-parit jalan,
tersangkut kawat duri istana,
di ujung popor senapan,
di telapak sepatu serdadu,
ketika mereka merampas,
mimpi-mimpi dari kepala kami
airmata tak lagi beranjak
terinjak-injak harga melonjak
uluran tangan basa basi
menyapa perut-perut lapar kami
lalu mimpi kami?
mimpi-mimpi kami berserakan
mimpi-mimpi kami berserakan
berteriak tanpa telinga
Friday, May 23, 2008
dapatkah kau pahami
jadi telaga di palung jiwa
mari belajar berenang
agar tak tenggelam didalamnya
Wednesday, May 21, 2008
Jangan mati
Jaga hati jaga nurani
Agar jiwa tak tergilas
jaman s’makin beringas
Jangan mati!
kecil tapi kerikil
Tajam dijalan penguasa
Jangan mati!
Lentera kecil
namun tak redup
Agar tahu kemana arah
Kaki harus melangkah
Monday, May 19, 2008
Ketika Tuhan tak lagi bersuara
rumah Tuhan dibakar
Tuhan dianiaya
sabdaNya dicuri
Tuhan menangis,
Tuhan menangis,
Tuhan menangis,
aku diam,
tak tahu harus apa
cerita sinetron
antrian panjang wajah-wajah kusam
karungan beras menggunung tak terbeli
label harga minyak goreng keringkan nyali
pemerintah tak perduli,
berlomba-lomba protes
tak lunas oleh cucuran keringat dan airmata ibu
tak juga lunak oleh gigil gemetar punggung ayah
ayah gila
ibu mati gantung diri
tekanan ekonomi karenanya
penonton marah
hidup
setiap langkah kaki adalah jejak petualangan
setiap kenangan adalah masa
dimana waktu tak lagi berkuasa atasnya
kami rindu melukismu lagi
jejak-jejak kaki kami
terlukis di atas punggungmu
jiwa-jiwa kami menyatu rindu
pada batu kokoh tegar abadi,
pada angin genit di ujung tumitmu
pepohonan hijau setia pada siang dan malam,
pada reriak air yang terusik jiwa penat
belantaramu kurindu
dinginmu kunanti,
pada malam berserakan bintang,
terserak pula segala luka
dihijau permadani alas ibu bumi
rindu..rindu ..rindu
hingga suatu waktu nanti
kami kembali
mencari jiwa dan hati kami
yang tertinggal dipuncakmu
suaramu
Se-kasur empuk tempat mata terpuruk
Menjelma kantuk
tak terbayang di pelupuk
lagi-lagi fatwa
petuah bijak omong sesumbar
dikutuk sumpahi oleh jiwa,
yang mengunyah lidahnya
agar tak jumawa
dusta
jiwaku sedang keracunan hebat
karena makan banyak buah norma
yang dijejalkan ke mulut dan perutnya
yang tanpa ampun, tanpa permisi, tanpa henti
sejak matahari masih muda belia
hingga senja mulai mengintip di ujung masa
karena dahsyatnya racun norma itu
ia muntah-muntah dengan hebatnya
hingga mengeluarkan suara-suara
yang dengan kerasnya berbunyi
dusta! dusta! dusta!
lalu keluarlah dari muntahnya itu
berbusa-busa nasihat tentang harga diri
tentang kehormatan, tentang harta dan tahta
yang tertanam didasar segalanya
yang telah mengendap lama berlama-lama
karenanya tak kuat lagi jiwaku,
kembali dimuntahkannya
muak! muak! mmuaaakk!
lalu apa arti ketulusan dan cinta
lalu dengan apa ku maknai aku
lalu apa arti hidup, jika aku tak hidup
kepalanya pusing tujuh keliling
terbayang-bayang pada nanar matanya
tentang kebebasan
tentang kehidupan
tentang mimpi-mimpi
tentang dunia
tentang kesahajaan yang sungguh teduh
tentang api
tentang jalan terjal
tentang hasrat
tentang keringat
tentang pagi dan tentang senja
tentang segala-galanya
termenung jiwa dihantam tentang
lalu terduduk ia dengan lemasnya
menutup matanya yang basah dari dunia
merapal mantra-mantra harapan dan doa
“ya Tuhan, semoga racun itu tak menyebar
sampai ke hati yang begitu luka kini”
sepanjang pulang
versi I :
aku pulang
Diperjalanan kutemui
Rindu meratapi
versi II:
aku pulang
kutemui rindu meratap
diperjalanan pulang
tak pernah berhenti berjuang
sejarah tak pernah bisa menolak nasibnya
menjadi saksi perjalanan bisu berliku-liku
seperti batang-batang pepohonan
yang mengukir umur masa pada kulitnya
mengukir prasasti yang tak pernah mati
mimpi-mimpi menangisi sayap-sayap patah
ketika derita telah menjadi candu bagi jiwa
saya berteriak, menyumpah serapah kepada muak
mengumpat marah kepada penat yang sesak
mendaki kembali kata-kata di gunung jiwa
mengumbar seribu tanya menuntut jawab
menyapa nasib yang terluka
Jika terlupa akan siapa diri, belajarlah lagi mengeja nama
Kepada sejarah yang tak pernah salah mencatat luka
Nasib tak akan lupa pada takdirnya,
kemana jiwa hendak sembunyi
Ketika airmata telah menjadi asin di sudut hati
Hidup adalah wujud kasih yang menyala pada kelopak-kelopak jiwa
Sekali nafas terhela, pantanglah langkah surut hadapi luka
Kepada perih yang menjelma pada malam-malam sunyi
kebebasan yang hakiki
gerimis yang tak akan habis
Matamu serupa embun sejuk bening
Juga serupa tikaman belati menghujam jantung
Senyummu serupa kenanga mewangi
Juga serupa airmata yang mengasinkan jiwa
Gerimis merinai pada senja
tatapmu menyimpan rindu basah
Sejak tatapan terakhir menancapkan luka
Kita sama tahu gerimis ini tak akan ada sudah
Ibu
pada masa yang belum terjalani
doamu telah sampai
nantikan saya yang terseok
menanak sepi menggapai esok
pancaroba
musim penghujan berteman musim angin
mengintip badai di ketiak waktu
kurindu puisi yang sahaja
jujur sederhana teduhkan duka
malam tak lagi bicara, diam beribu-ribu bisu
ditikamnya cemas didekapnya jerih erat
tabir gelap menghitam pekat
bermain dusta, nista menjelma kabut
tersesat kian dalam di belantara kepalsuan
mencari cahaya terang jalan pulang, dihantam
tetes hujan dan gigilnya angin musim
pancaroba
pada suatu malam persinggahan
hening malam jadi sarang sepi
saat senja, usai menghitung jejak kaki
lelah tersandar di sudut jiwa
tempat sejuta tombak tertancap, dan
sejarah mencatat segala luka
harap fajar lekas datang
agar sepi tak kian dalam
berjanji pada pagi 'tuk kembali
jejaki langkah-langkah sunyi
meski belum habis lelah terpanggang
pun luka masih menganga merah
Lams dan kopi hitam (tampomas)
kopi hitam secangkir
jadi teman berpikir
sebatang rokok di tangan
terlarut dalam angan-angan
sesuatu yang tertinggal
ketika senja merambati waktu
ketika malam berganti pagi
dan disetiap langkah hidupku
kau tak terganti
antara hari ini dan kemarin
senyum jadi abadi
rindu beku di dinding waktu
kenangan muncul dari kesilaman
aku bersyukur kau ada
:ketika fajar menyingsing,
dan laut masih mengamuk dihatiku
sisa semalam
mati angin
terbenam cinta diam-diam
simpan rahasia pada malam
hanya sepi saja tak mau pergi
angin pun mati
menjemput luka
menjemput sepi
sejenak menepi
diam menepi
ditengah gemuruh roda hidup
kadang terasa ngilu
risau menikam berkali-kali
sekali ini saja
sekedar menepi
sandarkan jejak-jejak letih
: penantian
tentang kenangan
kenangan bersamamu manisku
seperti sangkar dari emas,
begitu indah, namun memenjarakan
jika cinta adalah diam
kata-kata memperkosa ketulusannya,
maka biarlah cinta kunamakan diam
puisi pun terbenam dalam diam
seperti matahari senja yang tertidur
pada belaian jemari malam
seperti matamu
ku cumbui wajahmu
di mataku,
di hatiku,
di benakku,
di harapku,
kau adalah malam natalku
yang tak kunjung usai
seperti kasih mengalir disungai jiwa
seperti bait-bait doa bermazmur pujian
seperti itu matamu
yang ku pahatkan pada tiap bait puisi
hingga mata hati dan jiwa jatuh terkulai
di pelupuk senja yang merah
kembang semusim
kembang semusim, mekar seusai hujan senja hari
tumbuh dipadang hati yang gelisah karena tanya
pancarkan wangi yang liar menghasut udara malam
harumnya singgah sebentar dijiwa-jiwa yang resah
terbitkan manis kenangan dideru waktu yang jemu
tak ada esok untuk bercumbu,
karena musim segera berganti
bisu
sang penyair tertunduk lesu
di antara kata yang mengintip malu-malu
keraguan menghasut logika
palsu
pencerahan hanya ilusi
masa depan masih dicari
seperti fatamorgana di siang hari
makin dikejar makin berlari
feodal
musim berganti musim
angin berhembus menembus jaman
tunas-tunas muda bersemi
sayang yang tua tak terganti
selamanya
jika hanya kenangan yang kita punya,
maka biarlah membatu
jadi prasasti abadi
di mimpi dan rindu
tak kala sepi membiru
di ujung malam
penatku,
lelahku,
lukaku, perihku,
mimpiku,
harapku,
kubungkus rapih dengan sabarku
kuikatkan tali semangat erat
kuletakkan disudut hati
esok kubuka kembali
tentang puisi
dikisahmu
kutemukan puisi,
tentang hidup,
pergulatan jiwa,
tentang cita
asa dan cinta
mohon jangan redup
mimpi-mimpiku
seperti elang
menatap angkasa
lalu ia
belajar terbang
kelak jadi penguasa
di langit raya
Belajar menulis
malam riuh dalam diamnya
kata-kata ber-riak dalam gelapnya
jiwaku tenggelam dalam ceruk palungnya
di situ ia mengakrabi kata