si penjual tawa, begitulah orang-orang menyebutnya
menjual tawa dengan sekantong airmata sebagai bayarannya
begitulah ia bekerja setiap hari, hingga pada suatu hari
ketika hari menjelang sore ia simpan airmata dan nestapa
yang hari ini berhasil ia tukar dengan tawa di dalam keranjangnya yang mulai senja
kemudian ia bagi-bagikan tawa yang tak laku dijual kepada orang-orang
yang ia temui sepanjang perjalanan pulang
merekalah orang-orang yang airmata pun sudah tak punya lagi
untuk ditukarkan dengan sedikit tawa
setibanya di rumah, disimpannya rapi berkantong-kantong airmata tadi
bersama-sama dengan kantong airmatanya sendiri
lalu ia mandi dan bersiap-siap menyambut malam yang menjemput
malam tiba dan ia dijemput dengan tak tergesa-gesa tapi juga tak terlambat
penuh suka cita ia menunggangi malam dan terbang ke langit
pulang ke rumah orang tuanya
diiringi orang-orang yang mengantarnya dengan airmata
yang ditinggalkannya di dalam lemari rumahnya
Thursday, November 6, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Kemana pergi si penjual tawa
tanpa salam perpisahan
tanpa pusara
kami di sini lelah berlara ria
kami di sini hendak tertawa
meski di dalam hati saja
tulung! tulung!
beri kami lelucon sedikit saja
tapi kami tak lagi punya
setetes pun sisa air mata
tuk membayarnya
sudah habis di gunakan
sebagai penghilang dahaga
;Dari kami
yang selalu terpaksa
di panah matahari
di sabit bulan
demi bayar hutang negara
Post a Comment